Rabu, Oktober 28, 2009

Akhir Sebuah Perjuangan

Sabtu pagi. Sedikit lewat Shubuh. Sehari setelah ulang tahun kakak keduaku. Aku terkesiap ketika mama menggugah tidurku dan mengabarkan.

"Kapan?"

"Jam setengah tiga tadi."

Seorang perempuan. Seorang istri. Seorang ibu. Perjuangannya melawan kanker selesai sudah. Berakhir. Mungkin ini yang terbaik. Daripada menderita berkelanjutan.

Dia terlalu baik. Hingga orang yang tak mengenal pun menyayangkan kepergiannya. Semua berduka. Apalagi melihat kesedihan di mata dua gadis kecil yang aku yakin sangat mencintai ibunya. Melebihi apapun.

Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Semoga mendapat tempat baik disisiNya. Hanya raga yang pergi. Biarkan jiwanya tetap di hati.

Jumat, September 25, 2009

Menikah

Kemarin aku sekeluarga berkunjung ke rumah eyang di Pasuruan. Beliau adalah adik dari almarhum eyang kakungku. Eyang Dayat dan Eyang Kholif tinggal berdua. Anak tunggal mereka bekerja di Surabaya.

Seperti biasa, kami disambut dengan ramah. Jajanan kampung tersedia bertoples-toples di meja. Teh hangat tersaji dalam gelas belimbing. Tanpa basa-basi, langsung comot kue-kue menggiurkan itu. Cerita sana-sini, tertawa meriah.

Lalu kakak sulungku menyodorkan setumpuk album foto besar-besar. Memang sengaja dibawa sebab mereka tidak hadir saat resepsi pernikahannya akhir bulan Juli. Bermunculanlah berbagai komentar.

"Ini berkat doanya di Mekkah dulu," kata eyang Dayat sambil menepuk ayahku.

"Iya, papa berdoa waktu naik haji dulu. Buat semua, nggak cuma mbak saja."

"Semoga jadi keluarga sakinah, mawaddah, warrohmah. Saling mencintai, saling menghargai. Diberi rejeki...." Panjang doanya.

Kami sambut serempak dengan, "AMIN."

Eyang menyambung, "Semoga adik-adiknya segera menyusul."

Ehm...! Aku maksudnya? Sambil asyik mengunyah kue kuping gajah kesekian yang masuk ke mulutku.



Kamis, September 17, 2009

Benci!

Pukul 11.37 WIB. Inbox e-mail milikku bertambah satu pesan. Dari seseorang yang dua minggu lalu sempat berselisih pendapat denganku di kantor.

Peringatan soal performa kerjaku sebagai sales. Fine, I accept it. Aku sangat terbuka terhadap kritik dan saran. Paragraf satu dan dua lewat. Tibalah pada paragraf ketiga. Membuat bibir gemetar. Kepala mau pecah. Hati marah membara. Aku benar-benar tersinggung.

"Coba dipahami bahwa culture di T****** L** beda dengan S*******, jika di S******* tidak ada fungsi managerial untuk controlling dan monitoring, di T****** L** ada (Pak **** + Saya)."

Note : T - my current company
S - my previous company

Membuat bibir gemetar. Kepala mau pecah. Hati marah membara. Aku benar-benar tersinggung. Cukup sudah!

Who the hell are you to judge?! Like you're a freakin' angel.... What do you know?! You're not even part of it, so shut up!

Kamis, September 10, 2009

Duka

Baru satu kaki menginjak lantai luar kamar mandi, aku dikejutkan dengan kehadiran kakak sulungku yang duduk termangu di ujung tempat tidur.

"Bapaknya mbak Yuli meninggal."

"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un." Spontan aku berucap pelan. "Kapan?"

"Tadi pagi."

Padahal beberapa waktu lalu, teman kakakku itu juga baru tertimpa musibah. Kompor gas di rumahnya meledak, mengakibatkan suami harus dioperasi karena luka bakar cukup parah. Sementara dia dan bayi kembarnya juga terpaksa mendapat perawatan medis.

Aku kenal mbak Yuli, walau tidak dekat. Orangnya sabar dan lemah lembut. Lalu aku mempertanyakan layakkah dia mendapat ujian bertubi-tubi? Dia terlalu baik. Aku berdoa semoga ketabahan selalu dekat dengannya.

Rasanya kematian begitu dekat. Bahkan semalam pun aku sempat ketakutan akan mati. Gara-gara kepala pusing tak tertahankan sejak sore dan berlanjut hingga malam. Hingga aku kurang menikmati undangan buka bersama orang pelayaran. Bahkan saat kumpul dengan teman-teman di Boliva.

Sudah tahu kepala pusing, aku malah pesan minuman campuran gin, tonic, dan soda. Vunderful namanya. Dengan harapan sakit kepala ini bisa reda. Ternyata tidak berefek apa-apa, kepala tetap pusing dan mata sangat mengantuk.

Pasrah. Percaya atau tidak, sungguh aku siap bila ini jalanku bertemu Tuhan. Alhamdulillah, Dia belum bersedia menerimaku. Dia mengulurkan bantuan dalam bentuk manusia juga. Manusia yang kupanggil "mama."

Aku mengeluh. Mama sudah siap dengan tablet pereda sakit dan segelas air putih. Aku mengeluh, sampai tertidur. Hmm.... Pagi hari ketika sadar, ternyata aku masih eksis di dunia, meski badan demam dan kepala masih agak nyut-nyut. Sekali lagi, alhamdulillah.